OH GAMISKU
Mendung mengembang dilangit malam, hujan seolah mengguyur rahmat-Nya dimuka bumi, angin seperti tak ingin tertinggal, terus memainkan daun pintu yang kian lama kian kencang bergoyang mengikuti terpaan angin malam ini. 12 agustus, tepatnya malam ke 23 ramadhan.
Disini, di sudut kamar ini, aku masih terdiam bersama mushaf qur’anku, selesai kubaca surat al-fussilat, merenungi lembar demi lembar maknanya… tak terasa bening mataku mengalir kembali, kembali? Ya kembali karena tepat lima menit yang lalu aku berusaha menyapunya dengan jilbab putih yang masih kukenakan hingga saat ini.
Teringat kembali saat tigapuluh menit yang lalu. Masih dengan tingkah kekanak-kanakanku, duduk melingkar diantara ayah ibu dan adikku. Sembari menikmati kue pemberian tetangga, katanya te ha er. Tradisi masyarakat yang sulit untuk dijabarkan. sesekali berebutan dengan adikku yang ternyata jago makan, tak kalah seperti ku.
Ditengah kenikmatanku mengunyah kacang bawang tiba-tiba ayah berkata dengan setengah memujiku.
“Nah pakai baju setelan begitukan bagus, gak pake baju kurung terus” kata beliau yang selama ini sering melihatku memakai baju gamis.
“Lha emangnya kenapa kalau pake gamis?” tanyaku tak mengerti, karena selama ini sepertinya tak ada masalah apa-apa dengan gamisku.
“Kalao mbak pakai pakaian itukan kelihatan pantas, seperti orang terpelajar, dan gak buat bapak dan ibu malu” ujarnya
Gubraaakks! Seperti orang terpelajar? Gak buat malu ibu dan bapak? Jadi selama ini aku dianggap tidak terpelajar dan selalu membuat ibu dan bapak malu begitu? Pikirku didalam hati, dengan langsung meminta penjelasan dari bapak dan ibu.
“Lho maksudnya apa ini pak? Masa’ gara-gara gamis aku langsung dianggap seperti itu?” Tanyaku setengah menahan rasa.
“Bapak tu malu sekali ketika lihat kamu pakai baju kurung itu ke masjid, bapak tak kuasa melihatnya, anak yang selalu bapak bangga-banggakan di hadapan orang-orang karena terpelajar dan ngajar ngaji sana-sini, kok sekarang sudah berubah, penampilanmu kok jadi seperti itu, ngaji ya silahkan tapi jangan sampai pakianmu berubah, kamu jadi seperti emak-emak, sperti orang tua kalau pakai pakaian itu. Bapak malu dengan orang-orang yang melihatmu, bapak malu, dikira bapak dan ibumu tidak perhatian dengan anak gadisnya. Sampai akhirnya itu jadi beban pikiran buat bapak, sampai jam dua malam bapak gak bias tidur mikirin kamu yang pakai baju itu ndhuk, bapak sedih sekali melihatnya, hati bapak sakit nduk…” ujar bapak terbata, ada yang menetes dipipi bapak ketika mengatakan itu semua dihadapanku. Aku masih terdiam tak bergeming
“Bapak Cuma pengen kamu jadi lebih baik, tapi tidak dengan berpakaian seperti itu, kan malu dilihat orang banyak, apa lagi itukan pasar, apa kamu gak malu ndhuk? Sedangkan bapak yang bapakmu saja malu melihatmu seperti itu. Bapak itu Cuma menasehatimu agar kamu berubah, lalu siapa lagi yang akan menasehatimu, orang lain tidak akan pernah berani menasehatimu, karena ilmumu lebih tinggi dari mereka.” Bapak mengusap airmatanya, aku masih menekuri lantai tak berani menatap wajah teduhnya yang kini sembab karena gamisku.
“Ya sudah kalau begitu mbak minta maaf, kalau sudah buat bapak dan ibu malu dengan gamis itu, besok-besok gak pakai gamis lagi.” Ujarku berusaha untuk berbicara.
“Maksud bapakmu itu, kamu boleh pakai gamis, tapi lihat tempatnya, kalau pas ngaji ya gak papa di pakai. Orang tua mana tho ndhuk, yang tidak mau melihat anaknya tampil lebih baik.” Ibu menimpali, berusaha menengahi.
“Cobalah untuk berdandan yang lebih pantas dan enak dipandang orang lain, jilbabmu itu sudah panjang lebar, ditambah lagi bajumu yang gak ada bentuknya, gak enak dilihat orang, jilbab itu gak usah panjang-panjang jadi rapi kelihatannya.” Lanjut ibu.
Baik bu, untuk masalah gamis aku bisa merubahnya tapi jangan harap aku akan memendekkan jilbabku bu, permasalahannya dari tadi Cuma gamis, bukan jilbab. Jadi tolong jangan pernah memintaku untuk memendekkan jilbabku. Tegasku, dalam hati aku beristighfar berkali-kali…
“Kamu kan sudah besar, sudah dewasa, kamu yang lebih tau mana yang pantas buatmu, dan mana yang tak pantas, bapak dan ibu hanya menyampaikannya kepadamu, kami berharap kamu bias berubah, tapi kalau tidak bias ya mau bagaimana lagi. Ujar bapak
“Insya Allah Pak/Bu..” kataku. Setelah minta maaf dan undur diri dari hadapan mereka, aku kembali kekamar. Airmataku seperti tak kuasa kubendung, aku sedih melihat bapak dan ibu yang merasa malu dengan cara berpakaianku. Tapi aku lebih sedih ketika mereka tak mengetahui apa alasan dan dasar aku berpenampilan seperti ini.
Semenjak hidupku memaknai surat al-ahzab ayat 59, aku berazzam untuk memperbaiki semuanya, aurat yang kala itu masih kubiarkan bertebaran dimana-mana, aku berusaha menjaganya.
Ibu… bapak… aku tak ingin dilihat indah dimata mereka, aku tak ingin dilihat cantik dimata mereka, tapi hina dimata-Nya, aku takut jilatan api neraka itu mengenai kakiku yang tak tertutupi, aku takut jilatan apai neraka itu membakar rambutku yang selalu dielu-elukan manusia aku takut… aku takut….
Biarlah, biarlah di dunia ini mereka semua mamandangku hina, biarlah semua orang menganggap diri ini tak terpelajar, biarlah semua orang menilai diri ini kampungan, dengan jilbab lebar dan baju longgar. Karena aku tak pernah perduli apa kata mereka, karena mereka belum mengetahui bagaiman indaahnya islam mengatur seluruh aspek kehidupan ummatnya.
Duhai ibu.. bapak, tidakkah engkau marah ketika aurat anak gadismu dilihat oleh orang-orang yang bermata liar, tidakkah engkau sakit hati melihat anak gadismu dicolek oleh orang yang bukan muhrimnya? Aku hanya berharap agar Allah memberikanku kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan kalian, hingga tak lagi engkau marah dan sedih melihatku mengenakan gamis itu lagi. izinkan aku menjadi anak yang sholehah, yang do’anya akan dikabulkan oleh Allah ketika kelak kalian tiada.
Dan sampai saat ini aku masih disini bersama mushafku…
Belajar untuk membuat kalian tersenyum bahagia dengan tidak menyalahi aturan-Nya.
Karya:
Seseorang nan disana (Alumni SMA Negeri 1 Pamenang, Jambi)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !