Masih
hening seperti tadi siang, bedanya kini siang telah berlalu hanya dengkuran
jangkrik, nyanyian nyamuk yang terdengar. Padahal
dirumah ini ada tiga orang, tapi terasa sendiri... aku pun masih berkutat
dengan note book ku, berjibaku mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk, karena
kelalaian sendiri, padahal sudah diberi waktu kurang dari sebulan untuk
menyelesaikan semuanya, tapi, ya seperti biasa sudah menjadi kebiasaan yang
mendarah daging selalu saja
mengulur waktu! Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku saat ini, tugas
seperti ini dengan waktu semalam bisa kuselesaikan, tapi dengan sistem sks
sistim kebut semalam. Tapi kalau masalahnya menyangkut hati, beewh... yang ada
hanya diam!
Aku kadang tak mengerti dengan mereka berdua, apa yang
sedang terjadipun aku tidak tahu, tiba-tiba saja rumah jadi sunyi, sepi
mencekam... nah kalau sudah begini rasanya pengen hengkang saja dari sini,
jalan-jalan atau pulang ke kost sekalian. Disana bisa damai, tenang, sebenarnya
disini juga tenang, tapi karena ada perang, perang dingin yang menyebalkan!
Saat seperti ini rasanya aku ingin mengatakan sesuatu
pada kalian, apakah kalian tak mengerti bagaimana perasaanku? Sedihku,
lukaku... kalian seperti menutup kedua mata
kalian akan hadirku di sini. Oh ya, aku tau sekarang mungkin kalian berdua
masih menganggaapku seorang anak kecil yang tak boleh tau urusan orang tua. Aku
jengah dengan semua ini selalu saja seperti ini.
Praaangg…!!!
Terdengar suara piring pecah di lanti bawah aku segera berjingkrak dari
ranjangku yang nyaman mengendap-endap menuju celah tangga seperti maling yang
takut ketahuan pemilik rumah. Benar piring pecah ungkapku dalam hati.
Tapi kali ini dipecahkan dengan sengaja oleh salah satu di antara
mereka.mungkin ada yang amarahnya telah memuncak atau apalah aku tak mengerti.
Mereka masih berseteru dilantai bawah seolah tak menyadari sepasang mata
memperhatikan mereka dengan penuh kesedihan. Aku tertegun menyaksikan kejadian
yang mungkin sudah sering kali terjadi di ruang mataku.
Hfff… apa
selalu seperti ini cara mereka menyelesaikan masalah? Tanyaku dalam diam. Tak
ada yang bias menjawab, aku berlalu meninggalkan mereka yang masih salingn
mengungkit kekurangan dan kesalahan dan sepertinya tak ada yang berinisiatif
mengakhirinya.
Ku basahi wajahku kini dengan air wudhu, kuputuskan untuk curhat pada-Nya, tiga
rokaat witir telah kukerjakan. Kurasa baru ini yang bias kulakukan semoga –Dia
melembutkan hati keduanya sehingga hal ini tak terjadi lagi… sekarang
kuputuskan untuk diam dikamar dengan Murottal Misyari Rayid di note bookku.
Kemudian
cetarrr….!!! Oh Rabbi… kini lebih keras dari yang tadi, baru saja
kumohon kebaikan baut mereka berdua. Kali ini aku enggan untuk keluar kamar. Ku
kencangkan volume murottalku. Agar mereka menyadari aku tak ingin mendengarkan
apapun selain murottalku saat ini.
Namaku…
ah tak penting namaku siapa, yang jelas aku dilahirkan dari keluarga yang
sangat harmonis pada awalnya, kami hidup bahagia hingga aku beranjak dewasa.
Kini usiaku telah 22th. Anak tunggal dari keluarga yang bergelimang harta.
Orangtuaku selalu mencukupi segala kebutuhanku.semuanya ada, tinggal sebut
sudah pasti dengan segera ada dihadapanku. Aku dimanja, hingga aku tak tau
bagaimana caranya hidup mendiri tanpa menyusahkan orang lain.
Kedua
orang tuaku selalu menomarsatukan pendidikanku, aku disekolahkan di sekolah
swasta yang tidak murah biayanya pada saat itu. Tapi sayang mereka tak membekaliku dengan pemahaman agama yang
cukup, hingga aku tumbuh menjadi remaja yang jauh dari agama. Sampai pada
akhirnya aku dikuliahkan oleh orangtuaku di universitas bergengsi di kotaku.
Dikampus inilah titik balik kehidupanku tepatnya enam tahun yang lalu. Aku
merubah segalanya, dari penampilan sampai pola pikirku. Kini aku sudah bekerja
disebuah instansi pemerintahan. Dan dari enam tahun yang lalu juga kejadian
demi kejadian dirumah ini kusaksikan, sampai saat ini aku tak pernah lagi
merasakan hidup bertiga, karena mereka sibuk dengan ego mereka masing-masing.
Mereka itu ayah dan ibuku yang sangat aku cintai, dan kini mereka berdua saling
membenci.
Kuharap tidak separah itu, tapi sepertinya harapanku
hanya angan-angan semu. Meski kajian islam sering ku isi, nasihat dan solusi
sering meghampiri, aku masih merasa tidak membawa pengaruh positif kerumah ini.
Sering berpikir untuk pergi, tapi kupikir itu bukan solusi. Yah.. seperti yang
terjadi malam ini.
Tiba-tiba ada yang berkelebat dibenakku. Akhirnya
kuputuskan untuk ambil tindakan malam ini juga.
“aduuuuhhh.... tolong..... ma... pa...”
Agak konyol sih, tapi aku berharap ini akan berhasil,
setengah menahan tawa atas perbuatan ku ini. Tapi aku berusaha untuk menangis,
akhirnya airmataku membanjiri bantal, tapi kok belum ada tanda-tanda orang
melangkah mendekati kamarku, bisikku dalam hati, ku kencangkan lagi suara
tangisku, kini disertai sesenggukan yang lurabiasa menyayat hati...
Gubrraaak...!! pintu kamarku didorong kuat oleh papa,
kulihat ada mama yang juga sama paniknya melihat aku memegang kepala seperti
orang kesakitan.
“ kenapa nay...? kamu kenapa sayang...?” ujar papa yang
semakin panik,
“ kenapa kepalamu nak...?” mereka berdua silih berganti
menanyaiku, semantara airmataku semakin deras mengalir, kini bukan airmata
palsu, tapi airmata kerinduan, rindu merasakan belaian lembut mereka, rindu
melihat mereka berdua panik karena melihat anaknya sakit, duhai rabbi... aku
rindu suasana seperti ini. Mereka seolah melupakan pertengkaran yang baru saja
terjadi.
Kurasakan mereka masih membelai kepalaku, ku tatap keduanya,
kuraih tangan mereka berdua, bukan disini yang sakit ma.. pa... kataku tapi
disini, kudekap erat tangan orang tua ku,
Nayla sakit jika harus melihat papa dan mama bertengkar
terus seperti tadi
Nayla sakit jika harus melihat papa dan mama diem-dieman
terus setap hari
Sudah enam tahun nayla merasakannya, bahkan mama dan papa
tak sadar saat ini nayla sudah dewasa, mama papa sibuk memenangkan ego
masing-masing. Nayla kehilangan kalian sejak enam tahun yang lalu.”
Tak ada suara yang terdengar hanya isak ku, kini tak ada
yang kubuat-buat lagi. Ma, pa, apa akan begini terus hidup kita? Tanyaku pada
mereka yang terdiam di samping ranjang tidurku. Mereka hanya terdiam. Aku
menghela nafas,ku pejamkan mata, duhai Raabb, aku sudah berusaha meski Engkau
tak meridhai usahaku, kini aku serahkan semuanya pada-Mu. Do’aku dalam
hati.kubuka kembali mataku, dan kini kulihat mama terisak memohon maaf pada
papa yang juga merasa bersalah. Mereka berpelukan dengan deraian airmata.
Hening itu telah sirna, sepi itu telah lenyap sunyi pun
telah pergi, kini yang ada hanya senyum dan keceriaan, “Faabiayyiaala
irobbikuma tukadzibaan... maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.
Karya: Anonim (YF)...
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !